Analisa Kebijakan Moneter di Indonesia
MAKALAH
PEREKONOMIAN INDONESIA
ANALISA KEBIJAKAN MONETER
Nama Dosen: Immi
Fiska
Nama Kelompok:
·
Ancas Asri Wulandari 2D214048
·
Devina Vedasiwi 22214846
·
Fathurrahman Sadzali 24214035
·
Latifah Arrum Sanda 25214998
·
Titan Herdianto 2A214790
·
Yusuf Pujianto 2C214616
Kelas
: 1EB38
UNIVERSITAS
GUNADARMA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, bahwa kami telah menyelesaikan tugas mata kuliah
Ilmu Budaya Dasar. Dalam tugas atau materi ini tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi, namun kami menyadari bahwa keberhasilan dalam menyusun materi ini berkat
bantuan, dorongan, dan Bimbingan orang tua. Sehingga kendala-kendala yang kami
hadapi dapat teratasi, oleh karna itu kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. Immi
Fiska selaku dosen mata kuliah Perekonomian Indonesia, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini.
2. Selaku
orang tua kami yang telah membantu kami dalam segi materi, dorongan, dan
dukungan.
3. Serta
teman-teman yang telah memberikan masukan sehingga makalah dapat terselesaikan.
Semoga
materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber pengetahuan untuk berbagai pihak
khususnya bagi kami sehingga tujuan yang diharapkan dapat terselesaikan. Amiin.
Bekasi,
20 Maret 2015
Penulis
Daftar
Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................................2
Daftar Isi................................................................................................................................3
Bab 1 : Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia................................................................4
Bab 2 : Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia.....................6
Bab 3 : Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya...................................7
Bab 4 : Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang.................................8
Bab 5 : Analisa Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama dan Orde Baru......................................................................................................................11
Bab 6 : Analisa Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya.......................................................................................................................14
Daftar Pustaka......................................................................................................................26
Kata Pengantar.......................................................................................................................2
Daftar Isi................................................................................................................................3
Bab 1 : Analisis Kebijakan Moneter di Indonesia................................................................4
Bab 2 : Analisis Aspek Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia.....................6
Bab 3 : Analisa Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya...................................7
Bab 4 : Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang.................................8
Bab 5 : Analisa Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama dan Orde Baru......................................................................................................................11
Bab 6 : Analisa Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya.......................................................................................................................14
Daftar Pustaka......................................................................................................................26
Analisa Kebijakan Moneter Di Indonesia
1. Analisis
Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan Moneter
adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar dapat
berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang yang
beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar perekonomian menjadi
baik, baik disini maksudnya adalah terjadi kestabilan harga dan inflasi serta
terjadinya peningkatan output keseimbangan perekonomian. Melalui kebijakan moneter, Pemerintah dapat
mengatur jumlah uang yang beredar pada masyarakat, diatur dengan cara menambah
atau mengurangi jumlah uang yang beredar dalam upaya untuk mempertahankan
ekonomi bertumbuh sekaligus untuk mengedalikan inflasi.
Indonesia pun
tidak luput dari kebijakan moneter tersebut. Di Indonesia, beberapa kali
kebijakan moneter diambil untuk mengantisipasi inflasi yang terjadi di
Indonesia. Kebijakan moneter tersebut hamper setiap tahun dilakukan untuk
menekan inflasi yang ada. Kebijakan moneter tersebut diambil dengan memunculkan
berbagai macam kebijakan public yang harus ditaati oleh seluruh warga Negara
Indonesia. Adapun kebijakan moneter sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Kebijakan moneter ekspansif (Monetary
expansive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan untuk mengatasi pengangguran dan meningkatkan daya beli masyarakat
(permintaan masyarakat) pada saat perekonomian mengalami resesi atau depresi.
Kebijakan ini disebut juga kebijakan moneter longgar (easy money policy)
b. Kebijakan Moneter Kontraktif (Monetary
contractive policy)
Adalah
suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan ini
dilakukan pada saat perekonomian mengalami inflasi. Disebut juga dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy).
Untuk
menjalankan kebijakan moneter diatas, pemerintah memiliki 3 Instrument utama
yang digunakan untuk mengatur jumlah uang yang beredar. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas
Diskonto (Discount Rate), dan Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio).
Diluar dari 3 instrument tersebut (yang menrupakan kebijakan moneter bersifat
kuantitatif), pemerintah dapat melakukan himbauan moral (Moral Persuasion.
a) Operasi
Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang
beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government
securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli
surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar
berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada masyarakat.
Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau singkatan
dari Sertifikat Bank Indonesia dan
SBPU atau singkatan atas Surat Berharga
Pasar Uang.
b) Fasilitas
Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar
dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang
mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah,
pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral (tingkat diskonto). Dengan
tingkat Bungan pinjaman yang lebih murah, maka keinginan bank-bank untuk
meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih besar, sehingga uang yang beredar
bertambah. Sebaliknya bila ingin menahan laju pertambahan jumlah uang yang
beredar, pemerintah menaikkan bunga pinjaman. Hal ini akan mengurangi minat
bank-bank meminjam uang dari bank sentral, sehingga pertambahan jumlah uang
beredar dapat ditekan.
c) Rasio
Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar
dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada
pemerintah. Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan
wajib. Untuk menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
d) Imbauan
Moral (Moral Persuasion)
Himbauan
moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan
memberi himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan
agar memberikan kredit secara hati-hati untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
2.
Analisis Aspek
Kelembagaan Pada Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan
Moneter di Indonesia adalah suatu kebijakan yang diambil untuk mengatasi
inflasi yang ada di Indonesia. Untuk membuat kebijakan tersebut, hanya ada 2
instrument utama yang memiliki kekuasaan. Langkah kebijakan moneter di
Indonesia dapat diambil oleh Pemerintah Indonesia dimana lembaga yang berhak
menjalankan kebijakan moneter tersebut adalah Bank Sentral yang ada di
Indonesia. Dalam hal ini kebijakan moneter yang ada di Indonesia yang dimaksud
adalah Bank Indonesia. Bank Sentral adalah bank yang mempunyai hak monopoli
untuk mencetak dan mengedarkan uang sebagai alat pembayaran yang sah dalam
suatu Negara. Tujuan Bank Sentral untuk mencapai dan memelihara kestabilan
rupiah. Adapun fungsi dari Bank Sentral adalah
·
Banker’s bank
·
Sebagai Bank pemerintah
·
Mencetak Uang dan Penyediaan Uang
bagi perekonomian
·
Mengatur Pasar Uang dan Pasar Modal
·
Mengawasi Bank – Bank dan lembaga
Keuangan
·
Melaksanakan kebijakan Moneter di
Indonesia
Contohnya :
rasio cadangan wajib
mulanya hanya 10%, maka untuk setiap unit deposito yang diterima, perbankan
dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang diterima perbankan.
Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbankan adalah 10. Namun
bila pemerintah menetapkan rasio cadangan wajib sebesar 20%, maka dari setiap
deposito yang diterima, perbankan hanya dapat mengalirkan pinjaman sebesar 80%
dari deposito yang diterima oleh perbankan. Untuk pertama kalinya sejak Pakto
1998, Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan wajib guna mengerem pertumbuhan
besar-besaran moneter yang masih tinggi, yaitu dengan menetapkan menetapkan
rasio menjadi 3% pada Februai 1996. Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan
wajib adalah sebesar 5%.
3. Analisa
Capital Flight di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Capital
Flight sebenarnya bukan hal baru dikalangan para ekonom. Secara teoritis
capital flight telah banyak dibicarakan. Namun sampai saat ini belum ada
definisi capital flight yang dapat diterima secara umum. Tetapi beberapa tahunh
ini penggunaan kata capital flight sering dikaitkan pada negara-negara sedang
berkembang, dimana terjadi sejumlah besar modal keluar (capital outflow) yang
diiringi oleh adanya peningkatan hutang luar negeri.
Pendapat
mengenai capital flight dikemukakan oleh Mohsin Khans-Ulhaque (1987) yang
mendefinisikan capital flight sebagai semua arus modal keluar (capital outflow)
dari negara sedang berkembang dengan tidak memperhatikan latar belakang
terjadinya arus modal tersebut dari dalam negeri dan jenis modal tersebut.
Diartikan sebagai capital flight karena pada umumnya modal dinegara sedang
berkembang kurang(langka), maka arus modal keluar dapat berarti menghilangkan
potensi sumber daya modal yang tersedia, serta pada gilirannya menghilangkan
pula potensi pertumbuhan ekonomi. Sementara Cuddington (1986) mengartikan capital flight sebagai semua arus
modal keluar jangka pendek (short term capital outflow) baik yang tercatat
mauipun yang tidak tercatat.
Hampir
tidak mungkin tidak memastikan jumlah capital flight dari suatu negara,
terutama bagi negara-negara yang menganut sistem devisa bebas. Bahkan untuk
negara yang menganut devisa ketat sekalipun, seperti Taiwan, arus modal tetap
saja keluar tanpa diketahui oleh otoritas moneter negara tersebut. Oleh karena
itu, metode yang lebih tepat untuk menggrafikkan besarnya capital flight dari
suatu negara adalah dengan melakukan estimasi. Apapun untuk melakukan estimasi
mengenai capital flight dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan yakni:
a.
Pendekatan Komputasi
Neraca Pembayaran
b.
Pendekatan Residual
c.
Pendekatan Deposito
Bank
Di Indonesia pernah mengalami kasus capital flight.
Bahkan jika diteliti lebih jauh, keadaan yang sebenarnya adalah Indonesia
setiap tahun mengalami capital flight dengan estimasi besaran yang tidak dapat
diketahui secara pasti. Kasus capital flight yang pernah diteliti adalah pada
tahun 1996 sampai dengan 2009. Penelitian capital flight ini dilakukan oleh Kus
Virgantari dari Universitas Indonesia dengan menggunakan data yang ada pada
tahun 1996 s/d 2009.
Dari penelitian tersebut, diketahui
bahwa Indonesia mengalami capital flight tertinggi pada tahun 1997 menuju ke
tahun 1998 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi di asia tenggara. Kemudian
capital flight kembali terjadi pada tahun 2005 karena terjadinya kasus Bom Bali
dan juga kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia. Setahun kemudian pada
tahun 2006 kembali terjadi kasus capital flight karena penurunan suku Bunga
SBI. Dan terakhir terjadi pada tahun 2008 karena adanya krisis global yang juga
melanda Indonesia.
Untuk mengatasi masalah capital
flight tersebut, dapat dilakukan beberapa cara agar capital flight dapat
diredam di Indonesia. Jika capital flight tidak dapat diredam lajunya, maka
Indonesia akan menjadi terpuruk karena kurangnya investasi yang terjadi. Cara
yang dapat dilakukan adalah:
1.
Kebijakan yang tidak
terlalu mengontrol tingkat suku bunga tetapi menjamin kepemilikan modal dan
aset milik orang asing.
2.
Kebijakan yang menjamin
stabilitas politik dan makroekonomi secara umum. (inflasi yang terkendali,
pengangguran rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan nilai tukar yang
stabil).
3.
Penetapan pajak yang
tidak terlalu tinggi dan adanya asuransi bagi investor
4.
Analisa Kebijakan Moneter Mengenai Devaluasi Mata Uang
Devaluasi mata
uang adalah suatu tindakan penyesuaian nilai
tukar mata uang
terhadap mata uang asing lainnya yang dilakukan oleh Bank
Sentral atau Otoritas
Moneter yang mengadopsi sistem nilai tukar
tetap. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila rezim yang mengadopsi
sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya dinilai
terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain dimana nilai mata uang
tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negera yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan
mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan inflasi kedua negara.
Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami penurunan nilai
namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak berlaku
secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan
pemerintah. Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara
lain ekspor yang terus menurun dan industri manufaktur
mulai mengalami penurunan kinerja. Adapun tujuan dari devaluasi adalah
1. Mendorong
ekspor dan membatasi impor. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki posisi balance
of payment, BOP dan balance of trade, BOT agar menjadi equilibrium atau
setidaknya mendekati equilibrium.
2. Mendorong
peningkatan penggunaan produksi dalam negeri. Hal ini dapat dicapai karena
nilai barang impor menjadi lebih mahal dibanding barang lokal, atau domestik.
3. Dengan
tercapainya kesetimbangan BOP diharapkan nilai kurs valuta asing dapat
menjadi relatif stabil.
Tindakan Devaluasi yang diambil oleh pemerintahan dapat
mempengaruhi aktivitas perekonomian baik dalam jangka pendek, jangka menengah
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, tindakan devaluasi dapat menggeser pengeluaran
atau expenditure switching dari komsumsi produk luar negeri kepada konsumsi
produk dalam negeri. Pergeseran konsumsi ini dapat berakibat terhadap kenaikan harga barang
dan jasa dalam negeri. Kenaikan harga ini akan berpengaruh terhadap konsumsi
masyarakat. Konsumsi masyarakat cenderung turun.
Penurunan konsumsi dapat menyebabkan turunnya aktivitas
ekonomi yang dapat mendorong terjadinya deflasi. Kondisi ekonomi ini dapat
mengakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Dalam jangka menengah, tindakan devaluasi dapat
memperbaiki posisi balance of payment, atau BOP dan balance of trade, atau BOT
melalui mekanisme elastisitas permintaan ekspor dan impor sesuai dengan
Marshall-Lerner-Condition. Selain itu, devaluasi dapat juga memperbaiki posisi
BOP melalui mekanisme moneter.
Dampak jangka panjang merupakan akibat
dari dampak yang terjadi pada jangka pendek dan menengah. Dalam jangka pendek
terjadi perubahan harga produk dan pergeseran konsumsi diikuti dengan
peningkatan aliran modal atu devisa pada jangka menengah. Dampak ini
menyebabkan terjadinya pergeseran produksi atau production switching, baik yang
menyangkut tradeable goods maupun nontradeable good. Pergeseran produksi ini
dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur ekonomi secara nasional.
Ada beberapa pengaruh dari devaluasi:
1.
Efek terhadap aliran barang
(komoditi)
2.
Efek terhadap harga luar negeri
3.
Efek terhadap harga dalam negeri
4.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar
yg diminta
5.
Efek terhadap kuantitas nilai tukar
yang ditawarkan
6.
Efek terhadap Term of Trade (TOT)
7.
Efek terhadap Balance Of Trade (BOT)
8.
Efek terhadap konsumsi domestik dan
produksi domestik
Berkaitan dengan kurs mata uang asing, di samping kurs
itu dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing yang
bersangkutan, pemerintah juga sering mengambil kebijakan penentuan kurs.
Kebijakan tersebut bisa berupa devaluasi maupun revaluasi.
Devaluasi
adalah kebijakan menurunkan nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
Misalnya, semula US$ 1=Rp 400,00 lalu menjadi US$=Rp 650,00 (devaluasi pada
tanggal 15 November 1978). sebaliknya, revaluasi adalah kebijakan menaikkan
nilai mata uang dalam negeri atas mata uang asing.
Perlu di
cacat bahwa penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing pada masa krisis
moneter di Indonesia (sejak 1997) tidaklah termasuk devaluasi, sebab bukan
merupakan kebijakan pemerintah. Penurunan nilai akibat tarik menarik
antara permintaan dan penawaran terhadap mata uang rupiah di pasar
internasional dan nasional.
Dengan
devaluasi, nilai mata uang asing terhadap Rupiah menjadi naik. Akibatnya, harga
barang-barang impor menjadi sangat tinggi jika dinilai dengan rupiah. Harapan
pemerintah, dengan kebijakan ini impor dapat dikurangi. Sebaliknya,
barang-barang yang kita ekspor ke luar negeri menjadi turun nilainya jika mata
uang importirnya bukan rupiah (sekalipun dilihat dari rupiah tidak turun).
Karena nilai barang-barang ekpor kita di luar negeri lebih rendah maka
diharapkan volume ekspor bisa naik (bisa bersaing di pasar internasional).
Dengan
adanya kenaikan ekspor dan penurunan impor, diharapkan perusahaan-perusahaan di
dalam negeri bisa berkembang. Akibatnya, akan dapat menyerap tanaga kerja yang
menganggur dan meningkatkan perekonomian masyarakat.
Namun,
devaluasi juga mempunyai dampak negatif. Adanya devaluasi membuat harga-harga
di dalam negeri mejadi naik. Selain itu, orang-orang Indonesia yang mempunyai
utang luar negeri dalam bentuk mata uang asing menjadi terpukul sebab utang
tersebut menjadi membengkak jika dilihat dari Rupiah.
Contoh:
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
Utang Adi US$1 juta. Apabila ia bayar utangnya sebelum 15 November 1978, ia harus membeli US$ dengan kurs US$ 1 = Rp 400,00. jadi Adi harus herus mengeluarkan Rp 400 juta. Namun, apabila ia harus membayar utangnya setelah 15 November 1978, Adi harus mengeluarkan Rp 650 juta ini berarti, devaluasi mengakibatkan utang Adi bertambah dalam nilai Rupiah sebesar Rp250 juta. “tambahan” utang ini dapat mendorong Adi untuk menaikkan harga barang.
5. Analisa
Periodisasi, Implementasi Kebijakan Indonesia Kaitannya Dengan Masa Orde Lama
dan Orde Baru
a. Kebijakan Moneter Orde Lama
Kebijaksanaan pemerintah pada masa
ini lebih diarahkan kepada proses perbaikan dan pembersihan semua factor dari
unsur-unsur peninggalan orde lama, tertama dari paham komunis. Selain itu
kebijaksanaan pemerintahan dalam mengupayakan penurunan tingkat inflansi yang
masih sangat tinggi. Kebijakan ini cukup berhasil menekan inflasi dari +/- 650%
menjadi hanya +/- 10% saja,suatu prestasi ekonomi yang tidak kecil. Kebijakan
di bidang moneter dengan tujuan untuk menaikkan hasil produksi nasional,serta
untuk menaikkan daya saing komoditi ekspor,yang pada masa ini menjadi lemah
karena :
1.
Adanya inflasi yang
besarnya rata-rata 34%,sehingga komoditi ekspor Indonesia menjadi mahal di
pasar dunia,akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara
lain.
2.
Adanya resesi dan
krisis dunia pada tahun 1979.
Pada Awal Masa Orde Baru
Di awal Orde
Baru, Soeharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil
untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Harto pertama
memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun,”
kata Emil Salim, mantan menteri pada pemerintahan Soeharto.
Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Soeharto membuat kebijakan yang
berbeda jauh dengan kebijakan Soekarno, pendahhulunya. Hal ini beliau lakukan
dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan
ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat
untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1996 tentang Pembaruan
Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat
kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Mendobrak kemacetan ekonomi dan
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti rendahnya
penerimaan Negara,
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak
dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang
berorientasi pada kebutuhan prasarana.
2.
Debirokratisasi untuk memperlancar
kegiatan perekonomian.
3.
Berorientasi pada kepentingan produsen
kecil.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut
maka ditempuh cara:
1.
Mengadakan operasi pajak.
2.
Cara pemungutan pajak baru bagi
pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.
3.
memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan,
seperti rendahnya penerimaan
Negara,
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara, terlalu banyak
dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank, terlalu banyak
tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi
pada kebutuhan prasarana
4.
Debirokratisasi untuk memperlancar
kegiatan perekonomian.
5.
Berorientasi pada kepentingan produsen
kecil.
Untuk
melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara :
1.
Mengadakan operasi pajak.
2.
Cara pemungutan pajak baru bagi
pendapatan perseorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.
Jadi Pada masa Orde Baru, Indonesia melaksanakan pembangunan
dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan tujuannya untuk terciptanya masyarakat adil dan makmur yang
merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila. Pelaksanaan pembangunan
bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yang isinya meliputi hal-hal berikut.
1.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju terciptanya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Pembangunan
nasional pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Kebijakan moneter pada
dasarnya merupakan suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan
internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya
tujuan ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur
dengan kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka
kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi).
Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan,
yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
6. Analisa
Fenomena Kebijakan Moneter Yang Terjadi di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Pada
periode 1960-1965, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang berat sebagai
akibat dari kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan politik.
Doktrin ekonomi terpimpin telah menguras hampir seluruh potensi ekonomi
Indonesia akibat membiayai proyek-proyek politik pemerintah. Sehingga tidak
mengherankan, jika pada periode ini pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
sangat rendah, laju inflasi sangat tinggi hingga mencapai 635% pada 1966, dan
investasi merosot tajam. Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
(BI) dibebani Multiple Objectives, yaitu selain menjaga stabilitas mata uang
rupiah juga sebagai bank sirkulasi yang memberi pinjaman uang muka kepada
pemerintah, serta menyediakan kredit likuiditas dan kredit langsung kepada
lembaga-lembaga negara dan pengusaha.
Mulanya
pada tahun 1959, pemerintah telah melakukan kebijakan pengetatan moneter
sebagai upaya mengatasi tekanan inflasi. Kebijakan pengetatan moneter 1959
tersebut antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit
bagi tiap-tiap bank secara individual pada tanggal 8 April 1959. Selain itu,
pemerintah dengan Undang-Undang (UU) No. 2 Prp. tahun 1959 melakukan sanering
uang pada tanggal 25 Agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp 500 dan
Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100, serta melalui UU No. 3 Prp. tahun 1959
membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah di atas Rp 25.000
yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang. Penanganan laju inflasi ini
terus berlangsung hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit
perbankan secara kuantitatif dan kualitatif.
Dalam
paket kebijakan moneter itu, dilakukan pula devaluasi nilai tukar rupiah
sebesar 74,7% dari Rp 11,40 per USD menjadi Rp 45 per USD. Penurunan nilai rupiah
tersebut, tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan
pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun. Pada periode ini ditetapkan
pula kebijakan mengenai pungutan ekspor-impor yang dikaitkan dengan harga
valuta rupiah. Ketentuan itu mewajibkan eksportir untuk menyerahkan pungutan
ekspor sebesar 20% dari harga penjualan sedangkan importir diwajibkan untuk
membayar pungutan impor -besarnya berkisar 0-200%, bergantung pada jenis barang
impor- kepada pemerintah.
Pada
paruh pertama periode 1960-an, pengeluaran anggaran pemerintah semakin besar,
terutama dalam pembiayaan proyek pemerintah yang menambah dampak inflatoir dari
pelaksanaan keuangan negara. Untuk mengatasi perkembangan ini, pada tanggal 13
Desember 1965, pemerintah menerbitkan uang rupiah baru yang nilainya diciutkan.
Nilai Rp 1.000 -uang lama- diturunkan menjadi Rp 1 -uang baru. Berikutnya,
untuk mempertahankan cadangan devisa yang terus menurun pada periode ini,
pemerintah melakukan pengawasan terhadap sumber devisa yaitu lalu lintas
perdagangan serta penerimaan dan pengeluaran devisa di bidang jasa-jasa serta
pengawasan modal untuk mencegah pelarian modal ke luar negeri. Pada masa
demokrasi terpimpin, politik luar negeri Indonesia lebih cenderung berpihak
kepada blok timur. Kedekatan Indonesia dengan Cina dan Rusia menyebabkan
renggangnya hubungan Indonesia dengan negara-negara blok barat.
Kemudian,
dengan alasan semangat revolusi dan berdikari, pada tanggal 17 Agustus 1965,
pemerintah memutuskan untuk menarik diri dari keanggotaan IMF, Bank Dunia, dan
PBB. Dengan penarikan diri tersebut, rencana-rencana pengembalian utang atas
Outstanding Drawing -sesuai dengan jadwal yang telah disepakati diganti dengan
persetujuan Settlement of Account. Utang kepada IMF sejumlah USD 61,9 juta
menjadi USD 63,5 juta. Jumlah tersebut, termasuk bunga utang yang akan dilunasi
dalam 10 kali angsuran per 6 bulan, terhitung sejak tanggal 17 Februari 1966.
Keadaan ekonomi yang semakin tak menentu pada periode ekonomi terpimpin
mendorong pemerintah untuk melarang penerbitan Laporan Tahunan Bank Indonesia
dan Statistik Moneter. Larangan penerbitan tersebut dilakukan demi menjaga
stabilitas perekonomian Indonesia.
Kebijakan
moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengatur
jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi masalah-masalah makroekonomi
seperti inflasi, pengangguran dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
moneter dilakukan dengan cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang
beredar dapat membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil,
sekaligus mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Inflasi
adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya meningkat. Tiga sektor
yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah: (1) ekspor-impor; (2) tabungan dan
investasi; serta (3) penerimaan dan pengeluaran negar Inflasi tidak akan
terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek penyebab inflasi dapat
dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor swasta. Tekanan inflasi akan
timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran pemerintah lebih besar daripada
penerimaannya, sedangkan pada sektor swasta, tekanan inflasi timbul bila
bankbank mengucurkan kredit yang besar guna memenuhi pinjaman sektor swasta
tersebut untuk kegiatan-kegiatan, baik lapangan investasi maupun non investasi.
Untuk mengatasi inflasi, bank sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan
membatasi pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga
cara: kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.
Kebijakan
Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran
pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi
yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh
besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti
Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces
(Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah
Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat
pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai
perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah
khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp
1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang
logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut.
Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama
beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi
swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan
harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang
rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa
harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru
meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara
terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang
berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara
tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun
waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui
Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru
untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi
Irian Barat (IB Rp).
Uang mulai digunakan pada saat
kondisi perekonomian sedemikian berkembang sehingga perekonomian barter
(perekonomian yang mensyaratkan double coincidence of want)
dirasakan tidak memadai. Uang memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar,
alat pengukur nilai, ukuran pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.
Uang adalah suatu benda diantara
sekian banyak benda dalam pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena
masyarakat mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang
berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya. Dengan kata
lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum permintaan dan
penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud dengan nilai uang adalah
jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan oleh orang lain kepada kita
sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita berikan kepadanya. Naik turunnya
nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada saat keinginan masyarakat untuk
menyimpan uang tunainya meningkat, hal tersebut akan cenderung menaikan nilai
uang dan menurunkan harga barang. Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus
membelanjakan setiap uangnya, hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan
menaikan harga. Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di
lapangan ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin
berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan
meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun akan
menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mengatasi
inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan moneter.
Pada tahun 1965, salah satu
kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada
saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik
Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal
13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan
perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari
Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh
wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
Arah kebijakan 1959-1966
Awal periode ini ditandai dengan
tindakan sanering yang dilakukan oleh Pemerintah yaitu memotong nilai uang
sebesar 90% dari nilai nominal serta membekukan simpanan masyarakat untuk
dijadikan simpanan jangka panjang. Dana simpanan masyarakat pada perbankan yang
dibekukan tersebut harus disetorkan kepada Pemerintah. Akibatnya perbankan
mengalami kesulitan likuiditas.
Di bidang politik, Pemerintah
menerapkan GBHN baru yang dinamai Manipol (Manifesto Politik) USDEK
(Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Di bawah era Manipol USDEK ini maka seluruh
unsur sumber daya dikerahkan untuk mendukung perjuangan revolusi, yaitu
perjuangan untuk menjadi bangsa yang berdaulat, bebas dari penjajahan dan
bersatu padu membangun kepribadian & karakter bangsa. Pembangunan bidang
politik tersebut disertai dengan pembangunan prasarana yang secara ekonomis
tidak produktif, atau terkenal dengan sebutan pembangunan proyek mercusuar. Di
samping itu, APBN juga terbebani oleh berbagai pengeluaran baru seperti biaya
konfrontasi dengan Malaysia, pembebasan Irian Barat dari Belanda dan kenaikan
gaji pegawai negeri.
Di bidang ekonomi, pembangunan
sektor riil masih juga belum menunjukkan adanya perkembangan sehingga pasokan
barang, terutama pangan tetap mengalami kekurangan. Dampak dari berbagai
kondisi tersebut menimbulkan pembengkakan defisit APBN yang semakin kronis yang
disertai pula oleh defisit cadangan devisa. Sama seperti pada periode
sebelumnya, defisit APBN tersebut ditutuap dengan Uang Muka dari bank Indonesia
yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Oleh karena itu uang
beredar semakin banyak dan terjadilah hyperinflasi. Tahun 1965/1965 kenaikan
inflasi mencapai 635,5% yang sekaligus merupakan inflasi tertinggi sepanjang
sejarah perekonomian Indonesia. Arah kebijakan moneter ditujukan untuk menekan
inflasi tersebut.
Kebijakan
Devisa 1959-1966
Pada periode ini rezim devisa
terkontrol masih tetap berlaku, bahkan cenderung semakin diperketat melalui
kebijakan pungutan hasil ekspor dan larangan impor berbagai jenis barang. Terjadinya
keguncangan pasar di luar negeri pada tahun 1960 an mengakibatkan kemorosotan
penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang menjadi komoditas utama pada
waktu itu. Munculnya berbagai jenis karet sintetis juga memberikan tekanan/
persaingan terhadap hasil ekspor karet Indonesia. Di samping itu, naiknya impor
beras juga sangat membebani cadangan devisa Indonesia. Untuk mengatasi berbagai
tekanan tersebut, Pemerintah sejak tahun 1964 semakin memperketat kebijakan
devisa untuk keperluan impor dan memberikan berbagai insentif bagi upaya
peningkatan ekpor.
Pada akhir tahun 1964 Pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No.32 Tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa untuk
menggantikan Deviezen Ordonnantie Tahun 1940 dan Deviezen Verordening
Tahun 1940. Dengan diberlakukannya Undang-undang No.32 ini maka devisa yang
dimiliki masyarakat tidak diharuskan untuk diserahkan kepada Dana devisa.
Walaupun demikian pada dasarnya tetap terkontrol namun tidak dengan cara
menyetorkan kepada Dana Devisa melainkan dengan cara menetapkan penggunaannya
melalui perizinan yang cukup ketat. Untuk mencegah pelarian modal ke luar
negeri, dilakukan pengawasan terhadap lalu lintas modal.
Upaya untuk memupuk cadangan devisa
terus ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan insentif bagi upaya
peningkatan ekspor.
Kebijakan
Nilai Tukar di Indonesia 1959-1966
Pada tanggal 25 Agustus 1959,
Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan
beban APBN, memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi. Isi
paket itu terdiri atas devaluasi Rupiah, sanering dan penyempurnaan kebijakan
devisa serta ketentuan-ketentuan perdagangan internasional. Devaluasi yang
dilakukan adalah mengubah nilai tukar Rupiah dari Rp.11,4 menjadi Rp.45,- per
USD1,- Devaluasi ini selain mampu meningkatkan ekspor dan mengakibatkan adanya
revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen Bank Indonesia dan bank-bank
devisa lainnya, juga mengakibatkan naiknya inflasi.
Turunnya harga karet di pasar dunia
pada waktu itu merupakan bagian paling besar dari seluruh ekspor Indonesia
serta naiknya impor beras sejak tahun 1957 yang masih terus berlanjut,
mengakibatkan anjloknya cadang devisa pada tahun 1960. Hal tersebut kemudian
diatasi antara lain dengan mendorong ekspor secara umum melalui pemberlakuan
kurs tambahan bagi penjualan devisa hasil ekspor. Dalam ketentuan ini, setiap
penyerahan devisa hasil ekspor, kepada eksportir diberikan tambahan nilai tukar
sebesar Rp.270,- per USD1,- dikalikan 95% dari fob. Sementara itu, kepada
importer juga diberlakukan nilai tukar yang lebih tinggi lagi sesuai golongan
barang, yaitu Rp.270,- untuk golongan I, Rp.540,- untuk golongan II dan Rp.810
untuk golongan III. Peraturan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali,
terakhir pada tanggal 11 Februari 1966 dengan tambahan nilai tukar baik bagi
eksportir maupun importer yang besarnya lebih-kurang 4000% (empat ribu persen)
dari kurs tetap Rp45,- per USD1.
Dengan lain perkataan, nilai tukar
tetap sebesat Rp.45,- per USD1,- tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan
penyesuaian-penyesuaian dengan penerapan multiple exchange rate system.
Kebijakan
Utang Luar Negeri 1959-1966
Dalam usaha untuk meringankan beban
anggaran negara, dan memperbaiki posisi neraca pembayaran, salah satu kebijakan
yang ditempuh Pemerintah adalah melalui pinjaman dana dari luar negeri. Seiring
dengan adanya perubahan politik luar negeri, utang luar negeri pemerintah
sebagian besar diperoleh dari pinjaman negara-negara blok Timur, seperti dari
RRC dan USSR. Utang luar negeri tersebut selain dipergunakan untuk membiayai
pendirian proyek-proyek yang bersekala besar, juga dipergunakan untuk membiayai
proyek yang tidak produktif, seperti untuk konfrontasi dengan Malaysia tahun
1964. Jumlah utang luar negeri Pemerintah tersebut telah menambah berat beban
Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi
keuangan negara atau tersedianya devisa yang berasal dari ekspor.
Dalam tahun 1959 Indonesia telah
mendapat dua pinjaman luar negeri yakni dari Exim Bank sebesar USD 6,9 juta
untuk perluasan Pabrik Semen Gresik dan USD 5 juta untuk pembelian pesawat Lockheed
Electra. Kemudian pada awal 1960, USEximbank juga telah menjanjikan
pemberian pinjaman sebesar USD 47,5 juta yakni untuk membantu pendirian pabrik
Urea di Palembang dan pembangunan proyek listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) di Surabaya. Kenaikan utang yang cukup besar terjadi pada tahun 1961 dan
1962 yakni utang yang diperoleh dari USSR, dan pada tahun 1963 telah diperoleh
utang baru dari RRC.
Kebijakan fiscal dan kebijakan
moneter
Jika kita berbicara tentang
perekonomian Indonesia, yang akan terpikir di benak kita adalah tentang kondisi
dan keadaan ekonomi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia dapat diukur
dengan menggunakan beberapa indikator, misalnya pendapatan nasional dan Produk
Domestik Bruto (PDB). pendapatan nasional dan PDB yang tinggi menandakan
kondisi perekonomian suatu negara sedang bergairah. Pemerintah mempunyai
berbagai kebijakan untuk menjaga atau memperbaiki kualitas perekonomian
Indonesia.
Yang pertama adalah kebijakan
fiskal. kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN).
kebijakan fiskal mempunyai berbagai
bentuk. salah satu bentuk kebijakan fiskal yang sedang marak adalah BLT. banyak
orang melihat BLT hanya bantuan kepada orang yang kurang mampu. sebenarnya di
balik itu ada tujuan khusus dari pemerintah. BLT diharapkan mampu meningkatkan
pendapatan masyarakat. dengan meningkatnya pendapatan masyarakat, daya beli
masyarakat juga meningkat. dengan demikian permintaan dari masyarakat juga
meningkat. meningkatnya permintaan dari masyarakat akan mendorong produksi yang
pada akhirnya akan memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia.
Contoh lain dari kebijakan fiskal
adalah proyek-proyek yang diadakan oleh pemerintah. katakanlah pemerintah
mengadakan proyek membangun jalan raya. dalam proyek ini pemerintah membutuhkan
buruh dan pekerja lain untuk menyelesaikannya. dengan kata lain proyek ini
menyerap SDM sebagai tenaga kerja. hal ini membuat pendapatan orang yang
bekerja di situ bertambah. dengan bertambahnya pendapatan mereka akan terjadi
efek yang sama dengan BLT tadi.
Kebijakan fiskal juga dapat berupa
kostumisasi APBN oleh pemerintah. misalnya dengan deficit financing. defcit
financing adalah anggaran dengan menetapkan pengeluaran > penerimaan.
deficit financing dapat dilakukan dengan berbagai cara. dahulu pemerintahan
Bung Karno pernah menerapkannya dengan cara memperbanyak utang dengan meminjam
dari Bank Indonesia. yang terjadi kemudian adalah inflasi besar-besaran (hyper
inflation) karena uang yang beredar di masyarakat sangat banyak. untuk menutup
anggaran yang defisit dipinjamlah uang dari rakyat. sayangnya, rakyat tidak
mempunyai cukup uang untuk memberi pinjaman pada pemerintah. akhirnya,
pemerintah terpaksa meminjam uang dari luar negeri.
Tidak hanya Indonesia, tetapi
Amerika Serikat juga pernah menerapkan deficit financing dengan mengadakan
suatu proyek. proyek tersebut adalah normalisasi sungan Mississipi dengan nama
Tenesse Valley Project. proyek ini dimaksudkan agar tidak terjadi banjir.
proyek ini adalah contoh proyek yang menerapkan prinsip padat karya. dengan
adanya proyek ini pengeluaran pemerintah memang bertambah, tetapi pendapatan
masyarakat juga naik. pada akhirnya hal ini akan mendorong kegiatan ekonomi
agar menjadi bergairah.
mari kita mengingat sedikit kejadian
pada akhir tahun 1997 saat terjadi krisis moneter di Indonesia. pada saat itu
nasabah berduyun-duyun mengambil uang di bank (fenomena bank rush) karena takut
bank tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembalikan tabungan mereka. untuk
mengatasi masalah ini bank-bank umum diberi pinjaman dari Bank Indonesia yang
disebut Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI). Pada saat itu memang seluruh
tabungan dijamin oleh pemerintah, maka dari itu pemerintah juga harus mengambil
tindakan saat terjadi fenomena tadi.
Seharusnya saat suatu perusahaan
(termasuk bank umum) kekurangan modal pemilik harus menambah modalnya pada
perusahaan tersebut. ini berlaku pada umum dan pemerintah. jika pemerintah
kekurangan dana, pemerintah bisa menambah dana dengan menjual saham yang
dimiliki pemerintah. perlu diingat, ada beberapa perusahaan yang sahamnya
dimiliki pemerintah. Kebijakan yang kedua adalah kebijakan moneter. kebijakan
moneter adalah kebijakan dengan sasaran mempengaruhi jumlah uang yang beredar.
jumlah uang yang beredar dapat dipengaruhi oleh Bank Indonesia. selain dengan
langsung menambah atau mengurangi jumlah uang yang beredar, mengatur jumlah
uang yang beredar juga bisa menggunakan BI Rate. BI rate adalah instrumen dari
pemerintah untuk acuan seberapa besar bunga simpanan jangka pendek, misalnya
Surat Berharga Indonesia. biasanya bank-bank umum akan menaikkan atau
menurunkan suku bunganya seiring dengan naik atau turunnya BI Rate. maka dari
itu, saat BI Rate diturunkan, suku bunga kredit juga turun, sehingga biaya
investasi ikut turun. dari sini, diharapkan investasi meningkat.
Kebijakan moneter juga mengatur
tentang giro wajib minimum, yaitu jumlah simpanan bank umum di Bank Indonesia
yang merupakan sebagian dari titipan pihak ketiga. saat ini giro wajib minimum
sebesar 8 % dari titipan pihak ketiga. Kebijakan moneter juga berpengaruh dalam
perdagangan internasional dengan mengendalikan tarif ekspor impor. jika tarif
impor naik, dorongan untuk impor berkurang. jika tarif impor turun, dorongan
untuk ipmpor bertambah dan harga barang-barang impor menjadi lebih murah. Sedikit
tambahan, sekitar 95 % kapas yang digunakan sebagai produksi di Indonesia
adalah hasil impor. dalam kasus ini industri katun sebagai hasil olahan kapas
dalam negeri akan turun jika tarif impor naik.
satu lagi kebijakan yang dimiliki
pemerintah Indonesia adalah kebijakan sektoral. kebijakan ini menitikberatkan
pada satu dari sembilan sektor perekonomian di Indonesia. misalnya, di sektor
pertanian pemerintah memberikan subsidi pupuk. subsidi ini diberikan agar harga
pupuk murah. dengan demikian pupuk akan terdorong untuk dipakai. contoh lainnya
adalah kebijakan di sektor industri. di sektor ini pemerintah membuat kebijakan
kawasan ekonomi khusus. kawasan ekonomi khusus adalah kawasan yang khusus
digunakan untuk pendirian industri. misalnya, kawasan industri Cilacap. kawasan
ini mempunyai hak khusus, misalnya di Batam impor bahan mentah tidak terkena
pajak, sehingga hal ini akan mendorong produksi di sana.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber :
Buku :
Rahardja
Prathama dan Mandala Manurung, 2008, Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Salemba 4
Link :
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/133046-T%2027833-Analisis%20faktor-Analisis.pdf
http://elearning.gunadarma.ac.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=36
http://elearning.gunadarma.ac.id/index.php?option=com_wrapper&Itemid=36
http://wawanhariskurnia.blogspot.com/2012/12/kebijakan-moneter.html
https://bugiskha.wordpress.com/2012/04/14/analisis-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-capital-flight-di-indonesia/
http://devikurniasih.blogspot.com/2014/03/tugas-ekonomi-moneter.html
https://bugiskha.wordpress.com/2012/04/14/analisis-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-capital-flight-di-indonesia/
http://devikurniasih.blogspot.com/2014/03/tugas-ekonomi-moneter.html
KISAH NYATA.
ReplyDeleteAss.Saya IBU Yuni Sara.Dari Kota Surabaya Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Aki Sundoko,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Aki Sundoko alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Aki,mau seperti saya silahkan hub Aki Sundoko di nmr 0823-9350-0556 Aki Sundoko,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.KLIK DISINI
saya IBU WINDA posisi sekarang di malaysia
Deletebekerja sebagai ibu rumah tangga gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putseseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya us asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan